.."Era kejayaan Islam tenggelam cukup
lama. Kehidupan keagamaan umat Islam kini seolah mengikuti dinamika
sekuler yang memisahkan kehidupan dunia dan ajaran agama. Agama Islam
sesungguhnya hadir justru untuk menjembatani kehidupan dunia dan
akherat, agar dapat diraih keduanya secara hasanah..."
Jutaan kaum muslimin dari berbagai belahan dunia berada di Tanah Suci
menunaikan prosesi ibadah haji sebagai rukun Islam kelima dengan
puncaknya melakukan wukuf di padang Arafah, Sabtu lalu. Mereka berasal
dari status sosial berbeda, kaya miskin, kulit hitam ataupun putih,
rakyat atau pejabat bersama sama melakukan aktivitas ritual ibadah haji
dan kedudukan mereka di mata Allah tidak berbeda kecuali mereka yang
bertakwa sebagaimana termaktub dalam Al Quran (al-Hujurat (49): 13).
Inilah sesungguhnya contoh kehidupan demokrasi yang hakiki dimana pada
dasarnya manusia itu sama kedudukannya dimata Allah. Hanya perbuatan
kebajikan dengan tidak melakukan perbuatan yang mengingkari perintah dan
larangan Allah yang membedakan kemuliaan satu manusia dari manusia
lainnya. Hal ini pula yang merupakan salah satu esensi dasar ajaran
Islam yang apabila umat Islam mampu memahami dan melaksanakan secara
baik maka mereka menjadi umat terbaik seperti termaktub dalam Al Quran
surat Ali Imran / 3: 110.
Jika kita tengok sejarah Islam akan kita temui betapa ajaran Agama
ini telah mampu menanamkan nilai dan sistem peradaban yang tinggi. Agama
Islam pernah berjaya dalam membentuk peradaban maanusia pada era
Rasulullah SAW. Kepemimpinan Rasulullah yang sukses dalam membangun
peradaban Islam hanya dalam 23 tahun masa kenabiannuya. Para pemimpin
umat dan tokoh Islam perlu bekerja keras dalam upaya "membumikan kembali
pesan-pesan langit" yang telah lama tidak berperan membentuk pearadaban
dunia. Era kejayaan Islam tenggelam cukup lama. Kehidupan keagamaan
Islam seolah mengikuti dinamika sekuler yang memisahkan kehidupan dunia
dan ajaran agama. Agama Islam sesungguhnya hadir justru untuk
menjembatani kehidupan dunia dan akherat dan agar dapat diraih keduanya
secara "hasanah". Dewasa ini Islam yang rahmatan lil alamin masih
sebatas jargon, belum terejawantahkan dalam bentuk peradaban manusia
yang "kaafah" atau semupurna, sebagaimana pernah terwujud pada era
keemasan dulu Islam dibawah panji-panji syariat yang dibawa oleh Nabi
Muhammad.
Hari raya haji ini disebut juga dengan idul adha atau idul Qurban
(kurban). Kurban dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan qurbah yang
berarti mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ritual Idul Adha itu
terdapat penyembelihan hewan kurban. Pada hari itu kita menyembelih
hewan tertentu, seperti domba, sapi, atau kerbau, guna memenuhi
panggilan Tuhan.
Anjuran berkurban ini bermula dari perintah Allah
kepada Nabi Ibrahim agar melakukan penyembelihan kepada putra
terkasihnya yakni Nabi Ismail. Peristiwa ini memberikan kesan yang
mendalam bagi kita. Betapa tidak? Nabi Ibrahim telah menunggu kehadiran
buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih
putranya sendiri, Ismail. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara
melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan
konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup
dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun
dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih
dengan digantikan seekor domba. Kisah ini diabadikan dalam al Quran
surat al Shaffat ayat 102-109.
Titah sang Pencipta kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya disaat
Ibrahim tengah asyik masyuk dengan keberadaan anak kesayangannya sungguh
mengandung pembelajaran penting bagi peningkatan kualitas pribadi
Muslim. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang
mengandung pembelajaran paling tidak pada tiga hal.
Pertama, ketakwaan.. Pengertian taqwa terkait dengan ketaatan seorang
hamba pada Sang Khalik dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan
Nya. Koridor agama (Islam) mengemas kehidupan secara harmoni seperti
halnya kehidupan dunia-akherat. Bahwa mereaih kehidupan baik (hasanah)
di akhierat kelak perlu melalui kehidupan di dunia yang merupakan ladang
untuk memperbanyak kebajikan dan memohon ridho Nya agar tercapai
kehidupan dunia dan akherat yang hasanah. Sehingga kehidupan di dunia
tidak terpisah dari upaya meraih kehidupan hasanah di akherat nanti.
.Tingkat ketakwaan seseorang dengan demikian dapat diukur dari
kepeduliannya terhadap sesamanya. Contoh seorang wakil rakyat yang
memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi tentu tidak akan memanfaatkan
wewenang yang dimiliki untuk memperkaya dirinya sendiri bahkan orang
seperti ini akan merasa malu jika kehiudpannya lebih mewah dari pada
rakyat yang diwakilinya. Kesiapsediaan Ibrahim untuk menyembelih anak
kesayangannya atas perintah Allah menandakan tingginya tingkat ketakwaan
Nabi Ibrahim, sehingga tidak terjerumus dalam kehidupan hedonis sesaat
yang sesat. Lalu dengan kuasa Allah ternyata yang disembelih bukan
Ismail melainkan domba. Peristiwa ini pun mencerminkan Islam sangat
menghargai nyawa dan kehidupan manusia, Islam menjunjung tinggi
peradaban manusia.
Kedua, hubungan antar manusia. Ibadah-ibadah umat Islam yang
diperintahkan Tuhan senantiasa mengandung dua aspek tak terpisahkan
yakni kaitannya dengan hubungan kepada Allah (hablumminnalah) dan
hubungan dengan sesama manusia atau hablumminannas. Ajaran Islam sangat
memerhatikan solidaritas sosial dan mengejawantahkan sikap kepekaan
sosialnya melalui media ritual tersebut. Saat kita berpuasa tentu
merasakan bagaimana susahnya hidup seorang dhua'afa yang memenuhi
kebutuhan poangannya sehari-hari saja sulit. Lalu dengan menyembelih
hewan kurban dan membagikannya kepada kaum tak berpunya itu merupakan
salah satu bentuk kepedualian sosial seoarng muslim kepada sesamanya
yang tidak mampu. Kehidupan saling tolong menolong dan gotong royong
dalam kebaikan merupakan cirri khas ajaran Islam. Hikmah yang dapat
dipetik dalam konteks ini adalah seorang Muslim diingatkan untuk siap
sedia berkurban demi kebahagiaan orang lain khususnya mereka yang kurang
beruntung, waspada atas godaan dunia agar tidak terjerembab perilaku
tidak terpuji seperti keserakahan, mementingkan diri sendiri, dan
kelalaian dalam beribadah kepada sang Pencipta.
Ketiga, peningkatan kualitas diri. Hikmah ketiga dari ritual
keagaamaan ini adalah memperkukuh empati, kesadaran diri, pengendalian
dan pengelolaan diri yang merupakan cikal bakal akhlak terpuji seorang
Muslim. Akhlak terpuji dicontohkan Nabi seperti membantu sesama manusia
dalam kebaikan, kebajikan, memuliakan tamu, mementingkani orang lain
(altruism) dan senantiasa sigap dalam menjalankan segala perintah agama
dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Dalam Al Quran disebutkan bahwa
Nabi Muhammad memiliki akhlak yang agung (QS Al-Qalam: 4). Dalam Islam
kedudukan akhlak sangat penting merupakan "buah" dari pohon Islam
berakarkan akidah dan berdaun syari"ah. Segala aktivitas manusia tidak
terlepas dari sikap yang melahirkan perbuatan dan tingkah laku manusia.
Sebaliknya, akhlak tercela dipastikan berasal dari orang yang bermasalah
dalam keimanan merupakan manisfestasi dari sifat-sifat syetan dan iblis
Akhirnya, apabila ketiga hikmah penting diatas dapat
diwujudnyatakan oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia, maka bukan
mustahil negeri ini akan memiliki peradaban manusia yang mulya dan tentu
dapat dijadikan model bagi umat lainnya.
(sumber : http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2662:makna-idul-adha-dan-peningkatan-kualitas-diri&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210)
Jumat, 26 Oktober 2012
Arti Idul Adha 1433H
17.36
No comments
0 komentar:
Posting Komentar